Matinya Sang Pengarang
Oleh Ni Komang Ariani
Pagi ini Maya terbangun dengan firasat yang buruk tentang pekerjaannya. Belum pernah sekalipun firasat ini datang sebelumnya. Lima tahun terakhir ini, Maya percaya hidupnya paripurna. Ketukan lembut pada keyboard laptopnya seperti lagu yang mengiringi hidupnya. Kalimat demi kalimat berhamburan. Menyusun ribuan kata, dan beratus-ratus halaman. Semua komentar orang tentang hidupnya tidak ia dengarkan. Ia sedang melukis kehidupan. Maya bahagia dengan hening dan pertapaannya pada alam semesta.
Pada setiap pagi yang datang padanya, Maya selalu bersemangat menyambutnya. Menghirup udara pagi yang wangi, dan memindahkannya ke dalam paru-parunya. Setelah itu secangkir kopi sudah menemaninya mengetik di depan laptopnya. Pada saat seperti itu, dunia seolah mati. Maya tenggelam dalam imajinasi. Lesap ke dalam pertualangan tokoh-tokohnya. Ia tidak yakin bisa membedakan dunianya sendiri dan dunia tokohnya.
Apa sih yang kamu lakukan Maya. Kamu terus mengetik, tapi kamu tidak mendapat apa-apa.
Bajumu begitu lusuh Maya, seperti gembel. Apa kamu ingin menyaingi gembel jalanan?
Makanlah laptopmu itu kalau rasa laparmu bisa terpenuhi oleh laptopmu itu.
Maya betul-betul tidak peduli. Semua kata-kata orang hanya desiran angin yang mampir ke daun telinganya. Dunia ini sudah cukup membuatnya bahagia. Salah merekalah yang berusaha mencampuri hidupnya.
Cermin. Mereka selalu menyodorinya dengan cermin dan memintanya berkaca. Usil. Padahal Maya selalu mengacuhkan setiap cermin yang mereka miliki di rumah itu. Maya tidak pernah berdiri di hadapannya dan memandangnya. Sejatinya Maya tidak peduli walaupun bayangannya di cermin mirip seperti bebek berlumpur yang basah kuyup. Sama tidak pedulinya dengan model pakaian yang ia kenakan. Maya mengambil begitu saja pakaian Ibu atau pakaian kakaknya, Aras yang pas dengannya. Sangat sering mereka protes, tapi Maya tidak peduli. Keduanya terlalu menyayangi Maya untuk membencinya.
Yah memang, pada suatu waktu mereka bicara terus-terang tentang keberatan mereka pada sikap Maya. Namun sekali lagi, Maya bisa menghadapinya dengan wajah lugu dan tak berdosanya. Dua perempuan itu menasihatinya habis-habisan.
“Maya, bukannya Ibu melarang hobimu untuk menulis, tapi kamu mesti bisa melihat kenyataan. Kamu mesti sadar bahwa mungkin kamu lebih cocok jadi sekretaris atau guru daripada penulis. Kamu kan pinter, Nduk. Lulusan terbaik di tempat kuliahmu dulu. Kalau kamu kerja beneran, pasti uangmu banyak.” Maya hanya terdiam mendengar wejangan itu.
“Mbak mendukung mimpimu sebagai penulis kok. Tapi sebelum itu tercapai, kamu bisa coba ambil pekerjaan yang ada dulu. Apa saja. Karyawan bank juga boleh. Mbak dan Ibu kewalahan membayar biaya bulanan kita. Apalagi kamu yang paling pinter sekolahnya, sayang kalau kamu ndak kerja. Mbak yang bodoh ini saja, dapet gajinya lumayan.”
Maya masih terdiam.
“Kalau saya kerja yang lain, saya sudah tidak punya waktu untuk menulis.”
“Bukankah tulisanmu sudah beratus-ratus halaman.” Sangkal Mbak Aras.
“Aku cuma pengen menulis Mbak. Bukan yang lain. Kalau Mbak dan Ibu keberatan menanggung biaya hidupku, aku bisa mencari tempat kos.”
“Tidak, Nduk, jangan pergi. Tentu kami masih bisa menanggung kehidupan kita bertiga.” Ibu berkata cepat. Hati ibu manapun tidak akan tega melihat anaknya terlantar.
“Percaya deh Bu, Mbak, kalau bukuku sudah terbit, royaltinya besar sekali. Kita bisa beli rumah.”
“Ya sudah Nduk, teruslah menulis. Mudah-mudahan mimpimu cepat terwujud.”
Kedua perempuan itu memandang Maya dengan senyum dipaksakan. Berharap Maya berhenti keras kepala. Tapi Maya sudah keras kepala dari sananya. Maya terus menulis. Menghabiskan seluruh waktunya untuk mengetik beratus-ratus halaman. Setidaknya Maya sudah menulis sepuluh judul buku. Namun semuanya masih tersimpan rapi dalam kardus di kamarnya. Maya tidak pernah mengirimkannya ke penerbit manapun. Ia terus menulis sampai ada orang yang berhasil menghentikannya.
**
Hanya pagi ini Maya merasa dihentikan oleh mimpinya semalam. Sebuah firasat buruk tentang pekerjaannya. Bahwa pekerjaan itu semakin tidak berarti. Bahkan ia punya firasat pekerjaan itu akan punah. Dilupakan orang karena tak seorang pun mau melakukannya lagi. Maya menghembuskan nafasnya keras-keras. Berusaha mengusir bayangan pikiran buruk yang menghantuinya. Ia terus berkeras untuk kembali masuk dalam imajinasinya. Melanjutkan pertualangan bersama tokoh-tokohnya.
Maya kamu harus berhenti. Tidak ada gunanya untuk menulis lagi.
Kelak tak seorang pun menulis.
Tulisanmu akan menjadi barang murah.
Sampah. Yang dibiarkan berceceran tanpa guna.
Kau membuang-buang waktumu dengan menulis.
Lebih baik mencari dunia yang lebih gemerlap dan membuat hidupmu bercahaya. Kamu perempuan cantik, dan cerdas yang ditenggelamkan kegelapan dengan menulis.
Firasat itu menenggelamkannya dalam pergolakan sengit di dalam batinnya. Suara itu, keraguan itu bukan sesuatu yang pertama kali didengarnya. Suara itu begitu dekat seolah hatinya sendiri yang berbicara. Tapi Maya yakin itu bukan suara hatinya. Itu suara orang lain. Entahlah. Hanya saja, kali ini suara itu melawannya begitu dekat dan begitu nyata. Maya menjerit keras. Maya berikthtiar tidak boleh kalah.
Maya memusatkan energinya untuk kembali masuk dalam imajinasinya. Pada kalimat-kalimatnya yang menari di benaknya. Ketika ia berada di dalam, Maya lega. Ia sudah kembali pada dunia yang sangat dicintainya. Dunia yang membuat ia bahagia tiap detiknya sehingga ia lupa untuk menukarkan kebahagiaannya dengan uang yang berulang kali diucapkan oleh orang-orang yang dikenalnya. Ketika kau begitu bahagia, kau tidak membutuhkan uang bukan?
Jari-jemari Maya menari lincah di atas laptopnya. Ia mengetikkan huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, paragrap demi paragrap, halaman-halaman demi halaman. Ia mabuk dalam ekstase menuliskan setiap rasa dan suasana dalam novelnya. Maya berjanji ia tidak akan pernah berhenti menulis. Ia akan menulis selama waktu memberinya ruang. Hingga akhir waktu, ever after, seperti kisah dalam dongeng-dongeng.
**
Kadangkala sulit membedakan apa yang masuk akal dan tidak. Sulit membedakan yang wajar dan tidak wajar, normal dan tidak normal. Ibunya dan kakaknya tidak pernah meyakini betapa kuatnya keyakinan Maya sebagai penulis, karena tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan oleh Maya. Maya tidak pernah meyakini apa yang dianggap sebagai kebahagiaan oleh Aras dan orang-orang lainnya. Mengapa kebahagiaan bisa terletak pada hidup normal, menjalani rutinitas, mencari uang dan mengeluarkan uang, meladeni tuntutan masyarakat yang tidak ada habis-habisnya? Maya tidak pernah percaya itu adalah sebuah kebahagiaan.
Sebaliknya lebih banyak lagi orang yang tidak percaya dengan apa yang dikerjakan oleh Maya. Ia terus menulis dan menulis, namun ia tidak pernah menghasilkan apa-apa selain tumpukan tulisan. Ketika tahun kedelapan tiba, semua orang sudah semakin apatis dengan apa yang sedang dikerjakan Maya. Semakin banyak orang yang menganggap Maya orang gila. Mungkinkah seseorang harus cukup gila untuk menjadi penulis?
Pada pagi yang hening itu, sesuatu yang tidak disangka-sangka terjadi. Aras sudah bertekad untuk menyadarkan Maya, bahwa ia hanya membuang hidupnya dengan menulis. Bahwa ia harus bangkit dari mimpinya yang tidak pernah akan kesampaian itu. Aras bahkan akan bersikap keras padanya, mengatakan perempuan tiga puluh itu harus mandiri dan tidak bergantung lagi kepada Ibu yang sudah tua, dan dirinya yang sudah berkeluarga.
Pagi yang hening itu, Maya tertelungkup lemah di atas meja kerjanya. Wajahnya bening dan begitu cantik. Aras berfikir, Maya mungkin hanya tertidur karena kelelahan menulis. Ketika mendekati adiknya, jantung Aras mencelos ketika menyadari Maya bukan hanya tertidur kelelahan. Tubuh adiknya terlihat putih dan kosong. Tangan Aras gemetar berusaha mencari Maya dalam tubuh yang diam itu.
Tiba-tiba Aras begitu menyesal dengan maksud kedatangannya pagi itu. Ia tidak betul-betul ingin adiknya pergi dan mandiri. Ia masih ingin hidup dan tua bersama adiknya. Aras tidak bisa melupakan tekad kuat Maya, dan tekad itu betul-betul menjadi nyata. Kematian Maya yang langka menjadi sebuah cerita menarik di TV dan koran. Sepuluh buku yang ditulisnya pun dibaca dan ternyata Maya adalah seorang penulis jenius, dengan untaian kata yang sangat istimewa. Buku pertama bestseller. Demikian juga buku kedua hingga buku kesepuluh. Kisah kegilaan Maya dan kematiannya membuat banyak orang penasaran.
Buku-buku itu mendapat pujian setinggi langit, sebagai karya sastra membuka mata pembacanya. Aras sendiri tidak terlalu mengerti dengan tulisan-tulisan Maya. Karena dari dulu Maya memang terasa terlalu pintar baginya. Namun royalti dari kesepuluh itu sudah menjelma menjadi dua rumah yang yang ditempati oleh Ibu dan Aras. Maya menepati kata-katanya. Air mata Aras menggenang setiap kali mengingatnya. Mungkin mereka, seperti kebanyakan keluarga, tidak pernah siap dengan kehadiran seorang pahlawan di tengah-tengah mereka. Di mata siapapun adiknya itu seperti seorang perempuan yang tidak waras.
Pada setiap bukunya, Maya selalu menulis sebuah kalimat sakti.
Pengarang yang tidak cukup gila, tidak pernah benar-benar bisa menjadi pengarang sejati
Maya [***]